Sabtu, 09 Januari 2016

macam-macam majas



MAJAS I
A.    Majas Perbandingan
Majas perbandingan terbagi lagi atas perupamaan, kiasan atau metafora, dan pengiasan.[1]
1.  Perumpamaan atau simile.
Perumpaman adalah perbandingan antara dua hal yang pada hakikatnya berbeda, tetapi dianggap sama. Istilah dalam bahasa Inggrisnya adalah simile yang artinya seperti. Untuk menyatakan perbandingan itu digunakan kata-kata perbandingan secara eksplisit seperti kata seperti, bagai, sebagai, laksana, dan lain sebagainya.
Contoh:
Laksana bulan purnama.
Kedudukannya bagai telur di ujung tanduk.
Ibarat menelan duri.
2.  Kiasan atau metafora berasal dari bahasa Yunani, yaitu metaphora yang berarti memindahkan (mata ‘di atas’ dan pherein ‘membawa’). Jadi metafora atau kiasan adalah perbandingan antara dua hal yang secara implisit dengan menggunakan kalimat yang singkat dan padat.
Contoh:
Lintah darat (pemeras)
Buaya darat (orang yang suka pada perempuan)
3.  Personifikasi
Personifikasi adalah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa. Dengan kata lain, majas yang menggambarkan benda-benda tak bernyawa seolah-olah menjadi benda yang bernyawa (manusia).
Contoh:
Malam mendekap tubuh kami dalam kegelapan.
Kapal itu tenggelam setelah diterjang ombak.
Ranting dan daun-daun turut menari-nari melihatku.[2]

4. Antitetis
     Antitesis berarti lawan yang tepat atau pertentangan yang benar-benar. Secara singkat, antitesis adalah majas yang berupa paduan dua kata yang berlawanan.
Contoh:
Maju mundurnya suatu perusahaan tergantung kepada para pengelolanya.
Tingkah laku seseorang mencerminkan baik buruknya pribadi orang itu.
Tinggi rendahya suatu bangsa ditunjukan oleh budayanya.[3]
5.  Ironi.
Ironi diturunkan dari kata eironeia yang berarti penipuan atau pura-pura, sebagai bahasa kiasan ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung didalam rangkaian kata-katanya. Ironi merupakan suatu upaya literer yang efektif karena ia menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan yang besar.
Contoh:
Karena pandainya, banyak benar nilai merahnya.
Wah, sedap benar gulai masakanmu, meri, hingga aku tak lahap makan![4]

B.    MAJAS PERTENTANGAN.
Menggunakan majas pertentangan adalah suatu teknik melukiskan sesuatu dengan cara mempertentangkan pernyataan atau kenyataan yang ada dengan yang lain. Yang termasuk majas pertentangan adalah:[5]
1. Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang disusun dengan rangkaian kata yang bemakna melebih-lebihkan sesuatu, hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesan menyangat sesuatu yang di ekspresikan (nyata).
Contoh:
Aku berjalan dari buku ke buku.
Aku menyusup diantara huruf-huruf.
Melata diantara berjuta kata-kata.
Melewati bermiliyar atom cahaya.
Mencari jawab bagaimana.
Sebuah ajaran dapat diamalkan.[6]
2. Litotes.
Litotes (understatement) ialah majas yang dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negativ atau bentuk pertentangan. Litotes megurangi atau melemakan kekuatan pernyataan yang sebenarnya.
Contoh:
Hasilnya tidak mengecewakan (maksudnya hasilnya baik).
Orang yang tidak bodoh (orang yang pandai atau yang sangat pandai).[7]
3. Oksimoron.
Oksimoron (okys = tajam, moros = gila, tolol) adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Atau dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks.
Contoh:
Keramah-tamahan yang bengis.
Untuk menjadi manis seseorang harus menjadi kasar.
Itu sudah menjadi rahasia umum.
Dengan membisu seribu kata, mereka sebenarnya berteriak-teriak agar diperlakukan dengan adil.[8]
4. Paronomasia.
Paronomasia merupakan jenis majas yang berisi pengajaran kata-kata yang berbunyi sama, tetapi bermakna lain.

Contoh:
Kasih, akan ku taruh bunga tanjung dipantai tanjung hatimu.
Ban tuan kami terima sebagai bantuan yang sangat berharga.
Sedu sedan tangismu terdengar didalam sedan itu.[9]
5. Paralipsis
Paralipsis adalah jenis majas yang meupakan suatu formula yang dipergunakan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat itu.
Contoh:
Pak guru sering memuji anak itu, eh memarahinya.
Jangan-jangan kalian lulus, eh maaf gagal.
Pilih buah yang masaknya, eh bukan, buah yang busuknya.
Jenis majas seperti ini, biasanya karena orang yang berkata itu tergesa-gesa atau mungkin lantang.
6. Zeugma
Zeugma adalah majas yang merupakan gabungan dua kata yang berlawanan maknanya, seperti abstrak dan konkret.
Contoh:
Jauh dekat Rp. 150,00.
Tua muda, kaya miskin, pitar bodoh, cantik dan jelek semuanya akan meninggal.
Kadang kita bersifat egois dan sosial dalam kehidupan kita sehari-hari. [10]

C.   GAYA BAHASA RETORIS
1.    Apofasis atau Preterisio
Apofasis atau disebut juga Preterisio merupakan sebuah gaya dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyebunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya.

Contoh:
Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa anda pasti membiarkan anda menipu diri sendiri.
Saya tidak mau mengungkapkan dalam farum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.
2.    Apostrof
Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan kepada suatu masa, sang orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung kepada sesuatu yang tidak hadir: Kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau obyek hayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara kepada para hadirin.
Contoh:
                                             
Hay kamu dewa-dewa yang berada disurga, datanglah dan bebaskanlah kami dri belenggu penindasan ini.
Hay kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan.
3.    Asindeton
Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat dimana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung.
Bentuk-bentuk itu biasanya dipisahkan saja dengan koma, seperti ucapan terkenal dari Julius Caesar: Veny, vidi, vici, “Saya datang, Saya lihat, Saya menang”.
Perhatikan pula contoh berikut:
Materi pengalaman diaduk-aduk, modus eksistensi dari cogito ergo sum ini dicoba, medium bahasa di eksploitir, imaji-imaji, metode, prosedur dijungkir balik, masih itu-itu juga.
Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa.
4.    Polisindeton
Polisideton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari Asindeton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung.
Contoh:
Dan kemanakah burung-burung yang gelisah dan tidak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya?
5.    Asonansi
Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vocal yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang juga dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan .
Misalnya:
Ini muka penuh luka siapa punya.
Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.
6.    Erotesis atau Pertanyaan Retoris
Erotesis atau Pertanyaan Retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Gaya ini biasanya dipergunakan sebagai salah satu alat yang efektif oleh para orator. Dalam pertanyaan retoris terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin.
Contoh:
Terlalu banyak komisi dan perantara yang masing-masing menghendaki pula imbalan jasa. Herankah Saudara kalau harga-harga itu terllu tinggi?
Apakah saya menjadi wali kakak saya?
Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di Negara ini?
7.    Silepsis dan Zeugma
Silepsis dan Zeugma adalah gaya dimana orang yang mempergunakan dua konstruksi kerapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama.
Dalam Silepsis, kontruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara simantik tidak benar.
Contoh:
Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.
Fungsi dan sifat bahasa.

Kontruksi yang lengkap adalah kehilangan topi dan kehilangan semangat, yang satu memiliki makna denotasional, yang lain memiliki makna kiasan; demikian juga ada konstruksi fungsi bahasa dan sikap bahasa namun makna gramatikalnya bebeda, yang satu berarti “fungsi dari bahasa” dan yang lain “sikap terhadap bangsa”.
Dalam Zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya (baik secara logis maupun secara gramatikal).
Misalnya:
Dengan membelalakan mata dan telinganya ia mengusir orang itu.
Dia menundukkan kepala dan badannya untuk member hormat kepada kami.
8.    Paradoks
Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena keberadaannya.
Contoh:
Musuh sering merupakan kawan yang akrab.
Ia mati kelaparan dtengah-tengah kekayaannya yang berlimpah-limpah.
9.    Histeron Proteron
Histeron Proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa.
Juga disebut Hiperbaton.

Contoh:
Saudara-saudara, sudah lama terbukti bahwa Anda sekalian tidak lebih baik sedikitpun dari para perusuh, hal itu tampak dari anggapan yang berkembang akhir-akhir ini.
Jendela ini telah member sebuah kamar kepadamu untuk dapat berteduh dengan tenang.
Kereta melaju dengan cepat didepan kuda yang menariknya.
Bila ia sudah berhasil mendaki karang terjal itu, sampailah ia di tepi pantai yang luas dengan pasirnya yang putih.
10.  Litotes
Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya. Ataupun suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya.
Contoh;
Kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali.
Saya tidak akan merasa bahagia bila mendapat warisan 1 miliyar Rupiah.
Apa yang kami hadiahkan ini sebenarnya tidak ada artinya sama sekali bagimu.
Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami bertahun-tahun lamanya.
11.  Anastrof
Anastrof atau Inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat.
Contoh:
Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya.
Bersorak-sorak orang ditepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar.[11]




DAFTAR PUSTAKA


Dr. Alek, S.S.,M.Pd, 2010, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Kencana Prenada Group
Keraf, Gorys, 2005, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Dr.Nurhadi, Dr.Dawud, Dra. Yuni Pratiwi,1994,  Pelajaran Bahasa Indonesia, Jakarta: Erlangga
J.S. Badudu, 2003, Pintar Berbahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Siti Muryati, S.Pd.,dkk, 2002, Terampil Berbahasa Indonesia, Semarang: Aneka Ilmu
Sukiyatno, S.Pd.,dkk, 1994, Terampil Berbahasa Indonesia, Semarang: Aneka Ilmu
Taringan, Djago, 1996, Pendidikan Bahasa Indonesia 1, Jakarta: Universitas Terbuka.


[1] Alek, Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 237.
[2] Djago Taringan, Pendidikan Bahasa Indonesia 1, (Universitas Terbuka, 1996), hal.558-559.
[3] Ibid.,hal. 560.
[4] J.S Badudu, Pintar Berbahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hal.39.
[5] Sukiyo, Terampil Berbahasa Indonesia, (Semarang: Aneka Ilmu, 1994), hal.47-48.
[6] Nur Hadi, Daud, Yuni Prawtiwi, Pelajaran Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2003), hal.149.
[7] Alek, Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal.237-238.
[8] Goris Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005), hal.136.
[9] Djago Taringan, Pendidikan Bahasa Indonesia 1, (Universitas Terbuka, 1996), hal.561.
[10] Ibid.,hal.561
[11] Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka,2005), hal.130-136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar