MAJAS I
A.
Majas
Perbandingan
Majas perbandingan terbagi lagi atas perupamaan, kiasan
atau metafora, dan pengiasan.[1]
1.
Perumpamaan
atau simile.
Perumpaman adalah perbandingan antara dua hal yang pada hakikatnya
berbeda, tetapi dianggap sama. Istilah dalam bahasa Inggrisnya adalah simile yang artinya seperti. Untuk
menyatakan perbandingan itu digunakan kata-kata perbandingan secara eksplisit
seperti kata seperti, bagai, sebagai,
laksana, dan lain sebagainya.
Contoh:
Laksana bulan purnama.
Kedudukannya bagai telur di ujung tanduk.
Ibarat menelan duri.
2.
Kiasan
atau metafora berasal dari bahasa Yunani, yaitu metaphora yang berarti memindahkan
(mata ‘di atas’ dan pherein ‘membawa’). Jadi metafora atau kiasan
adalah perbandingan antara dua hal yang secara implisit dengan menggunakan
kalimat yang singkat dan padat.
Contoh:
Lintah darat (pemeras)
Buaya darat (orang yang suka pada perempuan)
3.
Personifikasi
Personifikasi adalah jenis majas yang melekatkan
sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa. Dengan kata lain, majas
yang menggambarkan benda-benda tak bernyawa seolah-olah menjadi benda yang
bernyawa (manusia).
Contoh:
Malam mendekap
tubuh kami dalam kegelapan.
Kapal itu tenggelam setelah diterjang ombak.
4.
Antitetis
Antitesis berarti lawan yang tepat atau
pertentangan yang benar-benar. Secara singkat, antitesis adalah majas yang
berupa paduan dua kata yang berlawanan.
Contoh:
Maju
mundurnya suatu perusahaan tergantung kepada para
pengelolanya.
Tingkah laku seseorang
mencerminkan baik buruknya pribadi
orang itu.
Tinggi
rendahya suatu bangsa ditunjukan oleh budayanya.[3]
5. Ironi.
Ironi
diturunkan dari kata eironeia yang
berarti penipuan atau pura-pura, sebagai bahasa kiasan ironi atau sindiran
adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud
berlainan dari apa yang terkandung didalam rangkaian kata-katanya. Ironi
merupakan suatu upaya literer yang efektif karena ia menyampaikan impresi yang
mengandung pengekangan yang besar.
Contoh:
Karena pandainya, banyak benar nilai merahnya.
Wah, sedap benar gulai masakanmu, meri,
hingga aku tak lahap makan![4]
B. MAJAS
PERTENTANGAN.
Menggunakan majas pertentangan adalah suatu
teknik melukiskan sesuatu dengan cara mempertentangkan pernyataan atau
kenyataan yang ada dengan yang lain. Yang termasuk majas pertentangan adalah:[5]
1. Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang disusun
dengan rangkaian kata yang bemakna melebih-lebihkan sesuatu, hal ini
dimaksudkan untuk memberikan kesan menyangat sesuatu yang di ekspresikan
(nyata).
Contoh:
Aku berjalan dari buku ke
buku.
Aku menyusup diantara
huruf-huruf.
Melata diantara berjuta
kata-kata.
Melewati bermiliyar atom
cahaya.
Mencari jawab bagaimana.
Sebuah ajaran dapat
diamalkan.[6]
2. Litotes.
Litotes (understatement)
ialah majas yang dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan
bentuk yang negativ atau bentuk pertentangan. Litotes megurangi atau melemakan
kekuatan pernyataan yang sebenarnya.
Contoh:
Hasilnya tidak mengecewakan (maksudnya
hasilnya baik).
Orang yang tidak bodoh (orang yang pandai
atau yang sangat pandai).[7]
3. Oksimoron.
Oksimoron (okys = tajam, moros = gila, tolol)
adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai
efek yang bertentangan. Atau dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa
yang mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam
frasa yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks.
Contoh:
Keramah-tamahan yang bengis.
Untuk menjadi manis seseorang harus menjadi
kasar.
Itu sudah menjadi rahasia umum.
Dengan membisu seribu kata, mereka
sebenarnya berteriak-teriak agar diperlakukan dengan adil.[8]
4. Paronomasia.
Paronomasia merupakan jenis majas yang berisi
pengajaran kata-kata yang berbunyi sama, tetapi bermakna lain.
Contoh:
Kasih, akan ku taruh bunga tanjung dipantai tanjung hatimu.
Ban tuan
kami terima sebagai bantuan yang
sangat berharga.
Sedu sedan tangismu terdengar didalam
sedan itu.[9]
5. Paralipsis
Paralipsis adalah jenis majas yang meupakan
suatu formula yang dipergunakan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa
seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat itu.
Contoh:
Pak guru sering memuji anak itu, eh memarahinya.
Jangan-jangan kalian lulus, eh maaf gagal.
Pilih buah yang masaknya, eh bukan, buah yang busuknya.
Jenis majas seperti ini, biasanya karena
orang yang berkata itu tergesa-gesa atau mungkin lantang.
6. Zeugma
Zeugma adalah majas yang merupakan gabungan
dua kata yang berlawanan maknanya, seperti abstrak dan konkret.
Contoh:
Jauh
dekat Rp. 150,00.
Tua
muda, kaya miskin, pitar bodoh, cantik dan jelek
semuanya akan meninggal.
Kadang kita bersifat egois dan sosial dalam
kehidupan kita sehari-hari. [10]
C. GAYA
BAHASA RETORIS
1. Apofasis
atau Preterisio
Apofasis
atau disebut juga Preterisio
merupakan sebuah gaya dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi
tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi
sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyebunyikan
sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya.
Contoh:
Jika
saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya saya ingin
mengatakan bahwa anda pasti membiarkan anda menipu diri sendiri.
Saya
tidak mau mengungkapkan dalam farum ini bahwa Saudara telah menggelapkan
ratusan juta rupiah uang negara.
2. Apostrof
Apostrof
adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada
sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh orator klasik.
Dalam pidato yang disampaikan kepada suatu masa, sang orator secara tiba-tiba
mengarahkan pembicaraannya langsung kepada sesuatu yang tidak hadir: Kepada
mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau obyek hayalan atau sesuatu
yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara kepada para hadirin.
Contoh:
Hay
kamu dewa-dewa yang berada disurga, datanglah dan bebaskanlah kami dri belenggu
penindasan ini.
Hay
kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini berilah
agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu
perjuangkan.
3. Asindeton
Asindeton
adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat dimana
beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata
sambung.
Bentuk-bentuk itu biasanya dipisahkan saja
dengan koma, seperti ucapan terkenal dari Julius Caesar: Veny, vidi, vici, “Saya datang, Saya lihat, Saya menang”.
Perhatikan pula contoh berikut:
Materi
pengalaman diaduk-aduk, modus eksistensi dari cogito ergo sum ini dicoba,
medium bahasa di eksploitir, imaji-imaji, metode, prosedur dijungkir balik,
masih itu-itu juga.
Dan
kesesakan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang
melepaskan nyawa.
4. Polisindeton
Polisideton
adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari Asindeton. Beberapa kata,
frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata
sambung.
Contoh:
Dan
kemanakah burung-burung yang gelisah dan tidak berumah dan tak menyerah pada
gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya?
5. Asonansi
Asonansi
adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vocal yang sama.
Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang juga dalam prosa untuk
memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan .
Misalnya:
Ini
muka penuh luka siapa punya.
Kura-kura
dalam perahu, pura-pura tidak tahu.
6. Erotesis
atau Pertanyaan Retoris
Erotesis
atau Pertanyaan Retoris adalah
semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan
untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama
sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Gaya ini biasanya dipergunakan
sebagai salah satu alat yang efektif oleh para orator. Dalam pertanyaan retoris
terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin.
Contoh:
Terlalu
banyak komisi dan perantara yang masing-masing menghendaki pula imbalan jasa.
Herankah Saudara kalau harga-harga itu terllu tinggi?
Apakah
saya menjadi wali kakak saya?
Rakyatkah
yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di Negara ini?
7. Silepsis
dan Zeugma
Silepsis
dan Zeugma adalah gaya dimana orang
yang mempergunakan dua konstruksi kerapatan dengan menghubungkan sebuah kata
dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan
dengan kata pertama.
Dalam Silepsis,
kontruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara simantik
tidak benar.
Contoh:
Ia
sudah kehilangan topi dan semangatnya.
Fungsi
dan sifat bahasa.
Kontruksi yang lengkap
adalah kehilangan topi dan kehilangan semangat, yang satu memiliki
makna denotasional, yang lain memiliki makna kiasan; demikian juga ada
konstruksi fungsi bahasa dan sikap bahasa namun makna gramatikalnya bebeda, yang satu berarti “fungsi dari bahasa” dan yang lain “sikap terhadap bangsa”.
Dalam Zeugma
kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok
untuk salah satu daripadanya (baik secara logis maupun secara gramatikal).
Misalnya:
Dengan
membelalakan mata dan telinganya ia
mengusir orang itu.
Dia menundukkan kepala dan badannya untuk member hormat kepada
kami.
8. Paradoks
Paradoks
adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan
fakta-fakta yang ada. Dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian
karena keberadaannya.
Contoh:
Musuh
sering merupakan kawan yang akrab.
Ia
mati kelaparan dtengah-tengah kekayaannya yang berlimpah-limpah.
9. Histeron
Proteron
Histeron
Proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan
kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar,
misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa.
Juga disebut Hiperbaton.
Contoh:
Saudara-saudara,
sudah lama terbukti bahwa Anda sekalian tidak lebih baik sedikitpun dari para
perusuh, hal itu tampak dari anggapan yang berkembang akhir-akhir ini.
Jendela
ini telah member sebuah kamar kepadamu untuk dapat berteduh dengan tenang.
Kereta
melaju dengan cepat didepan kuda yang menariknya.
Bila
ia sudah berhasil mendaki karang terjal itu, sampailah ia di tepi pantai yang
luas dengan pasirnya yang putih.
10. Litotes
Litotes
adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan
merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya.
Ataupun suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya.
Contoh;
Kedudukan
saya ini tidak ada artinya sama sekali.
Saya
tidak akan merasa bahagia bila mendapat warisan 1 miliyar Rupiah.
Apa
yang kami hadiahkan ini sebenarnya tidak ada artinya sama sekali bagimu.
Rumah
yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami bertahun-tahun lamanya.
11. Anastrof
Anastrof
atau Inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan
susunan kata yang biasa dalam kalimat.
Contoh:
Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya.
Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya.
Bersorak-sorak
orang ditepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi
bunga dan panji berkibar.[11]
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Alek, S.S.,M.Pd, 2010, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi,
Jakarta: Kencana Prenada Group
Keraf, Gorys, 2005, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Dr.Nurhadi, Dr.Dawud, Dra. Yuni
Pratiwi,1994, Pelajaran Bahasa Indonesia, Jakarta: Erlangga
J.S. Badudu, 2003, Pintar Berbahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka
Siti Muryati, S.Pd.,dkk, 2002, Terampil Berbahasa Indonesia, Semarang:
Aneka Ilmu
Sukiyatno, S.Pd.,dkk, 1994, Terampil Berbahasa Indonesia, Semarang:
Aneka Ilmu
Taringan, Djago, 1996, Pendidikan Bahasa Indonesia 1, Jakarta: Universitas
Terbuka.
[1] Alek,
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 237.
[3] Ibid.,hal. 560.
[4] J.S Badudu, Pintar Berbahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2003), hal.39.
[5] Sukiyo, Terampil Berbahasa Indonesia, (Semarang:
Aneka Ilmu, 1994), hal.47-48.
[6] Nur Hadi, Daud, Yuni Prawtiwi, Pelajaran
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2003), hal.149.
[7] Alek,
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal.237-238.
[8] Goris Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa,
(Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005), hal.136.
[10] Ibid.,hal.561
[11] Gorys Keraf. Diksi dan Gaya
Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka,2005), hal.130-136
Tidak ada komentar:
Posting Komentar